Analisis Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP)
dan Program Generasi Berencana (Genre)
Masih banyak masyarakat berargumen bahwa apabila perempuan sudah menstruasi pertama kali, sudah layak untuk menikah. Pada saat ini, terutama di desa-desa, anak perempuan pada usia sangat dini telah dinikahkan oleh orang tuanya. Menikah di usia muda akan membawa banyak konsekuensi kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sosial, disamping itu menikah di usia muda memiliki potensi lebih besar gagal (cerai) karena ketidaksiapan mental dalam menghadapi dinamika rumah tangga tanggung jawab atas peran masing masing seperti dalam mengurus rumah tangga, mencukupi ekonomi dan mengasuh anak.
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 1 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Maka dari itu, perkawinan pada usia tersebut haruslah dicegah.
Namun, undang-undang tersebut ternyata mengalami disharmonisasi dengan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa perempuan hanya boleh melangsungkan perkawinan jika telah mencapai usia 16 tahun dan usia 19 tahun bagi laki-laki dengan ketentuan mendapatkan izin dari orang tua. Dengan usia seperti itu, semestinya belum bisa dianggap dewasa untuk hubungan seksual karena belum memiliki kematangan secara fisik maupun psikologis (Damanik; 2010).
Selain itu, menurut laporan di Ditjen Badan Peradilan Agama, angka perceraian selalu meningkat, dan perceraian disebabkan bermacam-macam alasan, antara lain karena tidak harmonis, tidak bertanggung jawab, percekcokan terus menerus, dan lain sebagainya. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh lebih disebabkan karena perkawinan dini.
Pengaruh pendewasaan usia perkawinan
dalam mewujudkan generasi berencana
Berdasarkan analisis masalah di atas, telah diuraikan bahwa saat ini masih banyak terjadi perkawinan usia muda, terutama pada perempuan di bawah 20 tahun. Banyak faktor yang memengaruhi perkawinan usia muda ini, antara lain faktor ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Ketentuan batas usia perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang. Untuk ukuran sekarang, 19 tahun bagi laki-laki berarti baru lulus Sekolah Menengah Atas, dan 16 tahun bagi perempuan baru lulus Sekolah Menengah Pertama. Selain itu, peraturan perundang-undangan masih terlalu rendah mengatur usia seseorang bisa menikah, telah memberikan persetujuan hubungan seksual dan menafikan kenyataan bahwa anak-anak masih perlu didorong untuk melanjutkan pendidikan serta menikmati masa remajanya.
Perkawinan yang dilangsungkan pada umur tersebut secara psikis dipandang belum siap untuk melakukan perkawinan dengan segala akibatnya, sehingga menurut pengalaman ada persoalan sedikit saja berujung di Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perceraiannya. Menurut promovendus, H. Andi Syamsu Alam SH, MH, perkawinan diijinkan bagi laki-laki sudah mencapai umur 21 tahun dan bagi perempuan sudah mencapai umur 19 tahun karena menurut KUH Perdata anak dipandang dewasa kalau sudah umur 21 tahun, mindset masyarakat mengawinkan anaknya sebelum umur tersebut, perlu diubah
Saat ini telah diusulkan revisi terhadap Undang-undang (UU) Perkawinan, khususnya pasal tentang umur minimal orang yang boleh menikah, yakni minimal 20 untuk perempuan dan laki-laki 25 tahun. (Sugiri; 2010; BKKBN). Hal ini didasarkan pada temuan di lapangan yang menyebutkan banyak kendala pada keluarga yang memulai bahtera rumah tangganya tanpa perencanaan matang dan masih terlalu muda.
Pada dasarnya pernikahan usia dini tidak selamanya memberikan dampak positif, tetapi memberikan dampak merugikan bagi masyarakat itu sendiri. Maka dari itu, BKKBN memberikan solusi melalui Program Genre-nya, yakni Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).
PUP merupakan bagian dari Program KB untuk generasi muda dengan sebutan Genre (Generasi Berencana). Dalam generasi berencana (Genre), generasi/remaja pada masa transisi merencanakan kapan akan menikah dengan menunda usia perkawinan sampai minimal 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Dengan perencanaan dan persiapan kehidupan berumah tangga, kapan harus hamil, berapa jarak kelahiran, dan bercita-cita untuk mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, sehingga kelak menjadi keluarga yang berkualitas dan dapat mencegah ledakan penduduk di masa yang akan datang.
Penundaan usia perkawinan juga secara langsung memberi dampak mempercepat penurunan tingkat kelahiran. Di samping itu, penundaan usia perkawinan juga berakibat pada penurunan kematian ibu, anak, dan bayi karena pada saat melahirkan ibu lebih matang dan dewasa.
Kesimpulan
PUP merupakan bagian dari Program KB untuk generasi muda dengan sebutan Genre (Generasi Berencana). Dalam generasi berencana (Genre), generasi/remaja pada masa transisi merencanakan kapan akan menikah dengan menunda usia perkawinan sampai minimal 20 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Dengan perencanaan dan persiapan kehidupan berumah tangga akan mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, sehingga kelak menjadi keluarga yang berkualitas dan dapat mencegah ledakan penduduk di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar