Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagiah, aman, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Keutuhan dan kerukunan keluarga dapat terganggu jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhrinya terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidak amanan atau ketidak adilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Untuk menegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat harus memahami dengan benar factor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga, sehingga memudahkan melakukan pencegahan, perlindungan dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada dasarnya pernikahan adalah sama yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal serta membangun, membina dan memelihara hubungan kekerabatan yang rukun dan damai di samping untuk memperoleh keturunan. Sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa, Perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, khususnya terhadap isteri yang terjadi pada saat ini mengalami peningkatan baik dari segi kuantitasnya maupun dari segi kualitasnya. Hal ini tentunya mendapat perhatian dari semua pihak untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan, faktor-faktor penyebabnya dan bagaimana perlindungan hukum bagi isteri yang menjadi korban kekerasan suami.
Kekerasan dalam rumah tangga yang dapat kita lihat melalui kekerasan terhadap isteri bervariasi, seperti kekerasan fisik , phisikis, seksual dan kekerasan berupa penelantaran, hal ini diancam dengan ketentuan pidana yang terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri dapat menggunakan aturan-aturan hukum baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah tangga .
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material.
Kemudian dalam pasal 33 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dapat kita lihat dengan adanya yang menentukan hak dan kewajiban suami isteri, yaitu wajib saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Dari kedua pasal di atas menggambarkan adanya larangan kekerasan dalam rumah tangga khususnya kekerasan oleh suami terhadap isteri. Apalagi menurut pandangan bangsa Indonesia bahwa Lembaga Perkawinan adalah lembaga yang sakral. Namun kenyataan membuktikan, bahwa telah terjadi kekerasan yang di alami oleh perempuan, khususnya istri yang dilakukan suami terhadap istri di Kabupaten Pohuwato.
Berbagai bentuk kekerasan fisik kepada isteri tidak hanya bersifat fisik seperti melempar sesuatu, memukul, menampar, sampai membunuh. Namun juga bersifat non fisik seperti menghina, berbicara kasar, ancaman. Kekerasan seperti ini adalah dalam bentuk kekerasan psikologi/kejiwaan.
Dari kasus-kasus seperti di atas, ternyata masih banyak kasus kekerasan terhadap isteri yang tidak di laporkan dengan alasan, bahwa hal ini merupakan urusan intern keluarga. Suatu penomena dalam masyarakat, Indonesia yang menganggap bahwa menceritakan keburukan atau tindak kekerasan yang di lakukan oleh suami sendiri adalah seperti membuka aib keluarga sendiri pada hal kita ketahui bersama bahwa tindakan suami tersebut merupakan suatu tindakan kriminal.
Masalah utama yang perlu mendapat perhatian adalah perlindungan hukum bagi perempuan khususnya isteri yang menjadi korban kekerasan suami. Walaupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ada beberapa pasal yang mampu menjerat perlakukan kekerasan ini, namun tindak kekerasan suami terhadap istri masih sering terjadi.
Perkembangan dewasa ini di Kabupaten Pohuwato menunjukan bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga meningkat, fisik dari jumlah 7 kasus tahun 2009 menjadi 10 kasus 2009, psikis 3 kasus tahun 2009 men jadi 5 kasus 2010, seksual 2 kasus menjadi 5 kasus dan penelantaran 5 kasus tahun 2009 menjadi 8 kasus tahun 2010. Kekerasan dalam rumah tangga pada kenyataannya banyak terjadi, dari angka tersebut penelitian saya lakukan untuk mengetahui Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga di Kabupaten Pohuwato yang dilakukan suami terhadap istrinya khususnya kekerasan fisik (Data Unit PPA Polres Pohuwato).
Upaya untuk menemukan indikasi-indikasi yang berkaitan dengan kekerasan terhadap isteri oleh suami terutama di Kabupaten Pohuwato perlu mendapat perhatian serius. Dengan di temukan indikasi-indikasi tersebut, dapat di ketahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap istri dan dapat di lakukan pencegahan dengan penanganan serta penanggulangannya.
nurbaitillah
Kamis, 24 Januari 2013
Premanisme
Dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung kita telah menyaksikan atau melakukan yakni terlibat dalam apa yang kita sebut dengan premanisme. Premanisme dapat diartikan suatu paham yang berkembang dalam masyarakat tentang suatu tindakan tertentu yang mengakibatkan kerugian pada orang atau pihak atau kelompok lain.
Setiap individu dalam kehidupannya mempunyai kepentingan dan tujuan tertentu yang berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sehingga dengan sifat dan karakteristik setiap individu yang berbeda-beda, tentunya akan mempunyai potensi yang besar pula apabila diwujudkan kedalam suatu kepentingan dan tujuan bersama atau kelompok.
Dalam kehidupan suatu kelompok, sudah tentu tidak terlepas dari adanya perilaku setiap individu yang tidak sasuai fitrahnya sebagai manusia. Akan tetapi, justru dibalik perbedaan itu tersimpan suatu kekuatan yang besar ketika terakumulasi ke dalam kelompok. Setelah setiap individu masuk ke dalam kepentingan dan tujuan kelompok, maka perilaku mereka akan menjadi perilaku kelompok untuk kebersamaan.
Begitupun premanisme. Premanisme merupakan suatu tindakan yang memiliki tujuan tertentu namun terorganisir, karena kelompok ini berada bukan di desa-desa akan tetapi berada di kota-kota besar. Premanisme merupakan wadah pengatasnamaan jati diri dari orang-orang yang menamakan dirinya preman.
Preman, dalam kelompoknya mempunyai kekuatan yang terorganisir, mulai dari komando ketua, tugas dan peran anggota sampai hubungan antar kelompok. Sudah barang tentu antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain akan saling bersaing demi kelangsungan hidup kelompoknya
Ada beberapa teori yang dapat dikemukakan berkaitan dengan pembentukan kelompok, diantaranya :
1. Teori Kedekatan (Propinquity)
Teori yang sangat dasar tentang terbentuknya kelompok ini ialah menjelaskan tentang adanya afiliasi diantara orang-orang tertentu. Arti teori kedekatan ini ialah bahwa seseorang berhubungan dengan orang lain disebabkan karena adanya kedekatan ruang dan daerahnya (spatial and geographical proximity)
2. Teori Interaksi (George Homans)
Hasil-hasil riset kurang mencoba menganalisis tentang kekomplekan dari pembentukan kelompok sehingga memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Teori pembentukan kelompok yang lebih komprehensif adalah suatu teori yang berasal dari George Homans. Teorinya berdasarkan pada aktivitas-aktivitas, interaksi-interaksi dan sentimen-sentimen (perasaan atau emosi). Tiga elemen ini satu sama lain berhubungan secara langsung dan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Semakin banyak aktivitas-aktivitas seseorang dilakukan dengan orang lain, semakin beraneka interaksi-interaksinya dan juga semakin kuat tumbuhnya sentimen-sentimen mereka.
b. Semakin banyak interaksi-interaksi diantara orang-orang, maka semakin banyak kemungkinan aktivitas-aktivitas dan sentimen yang ditularkan pada orang lain.
c. Semakin banyak aktivitas-aktivitas dan sentimen yang ditularkan pada orang lain dan semakin banyak sentimen seseorang dipahami oleh orang lain, maka semakin banyak kemungkinan ditularkannya aktivitas dan interaksi-interaksi.
Pada umumnya teori-teori tersebut saling melengkapi, karena teori yang satu menerangkan isi yang berbeda dari teori yang lain.
3. Teori Keseimbangan (Theodore Newcomb)
Salah satu teori yang agak menyeluruh (comprehensive) penjelasannya tentang pembentukan kelompok ialah teori keseimbangan (a balance theory of group formation) yang dikembangkan oleh Theodore Newcomb. Teori ini menyatakan bahwa seseorang tertarik pada yang lain adalah didasarkan atas kesamaan sikap didalam menangapi sesuatu tujuan.
4. Teori Pertukaran
Teori lain yang sekarang ini mendapat perhatian betapa pentingnya didalam memahami terbentuknya kelompok ialah teori pertukaran (exchange theory). Teori ini ada kesamaan fungsinya dengan teori motivasi dalam bekerja. Teori propinquity, interaksi, keseimbangan, semuanya memainkan peranan didalam teori pertukaran ini.
Teori lain dari pembentukkan kelompok adalah didasarkan atas alasan-alasan praktis (practicalities of group formation). Yang teramat penting dalam memahami pembentukan kelompok berdasarkan alasan-alasan praktis ini diantaranya kelompok-kelompok itu cenderung memberikan kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendasar dari orang-orang yang mengelompok tersebut.
Karakteristik yang menonjol dari suatu kelompok antara lain :
a. adanya dua orang atau lebih.
b. yang berinteraksi satu sama lain
c. yang saling membagi beberapa tujuan yang sama
d. dan melihat dirinya sebagai suatu kelompok.
Dalam kehidupan sehari-hari, preman merupakan kelompok yang selalu terpinggirkan atau tersisihkan. Mereka terabaikan dari kehidupan bermasyarakat pada umumnya. Namun yang harus kita ketahui bahwa aksi premanisme tidak dilakukan begitu saja, dalam hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Diantaranya faktor keluarga, lingkungan, himpitan ekonomi, latar belakang pendidikan dan lain-lain.
Preman cenderung melakukan kekerasan dalam menjalankan aksinya. Dalam hal kekerasan, sudah barang tentu ada pihak yang merasa dirugikan, baik secara jasmani maupun rohani. Mereka yang sudah mengecap label premanisme, pastinya akan berpengaruh pada sikap dan tindakan yang mereka ambil.
Sudah menjadi bagian dari kehidupan, bahwa mereka yang sudah diberi label suka melakukan kekerasan dan kejahatan, pastinya cenderung mempertahankan label yang diberikan itu demi mempertunjukkan jati diri mereka. Meskipun banyak halangan yang mereka temui, baik itu dari keluarga, lingkungan dan agama, mereka tetap akan mempertahankan label yang sudah terlanjur diberikan kepada mereka. (FRANK TINEMBAUM : penggagas utama teori labeling)
Secara garis besar, Premanisme Dalam Perspektif Kriminologi dapat diartikan Kejahatan Dapat dipengaruhi Oleh Keadaan. Mengapa demikian?
Memang sudah seperti itu, apabila kita lihat hanya dari pendekatan “niat”, maka kita akan menemui contoh seorang pencopet yang apabila dia sedang berada di dalam kantor polisi ataupun di dalam barak tentara, maka meskipun ada niat namun situasi dan kondisi tidak memungkinkan. Contoh lain, seorang santri yang notabenenya hampir setiap malam melakukan tadarus maupun zikir malam, disitu kesempatan ada namun niat takkan muncul karena situasi dan kondisi yang menempa dan menggembleng mereka sehingga membuat mereka susah untuk berfikir kesana.
Latar Belakang Pelacuran
Peristiwa pelacuran sudah ada sejak lama, bahkan ratusan tahun sebelum masehi. Pelacuran menjadi suatu perlawanan terhadap hukum pernikahan, dimana di dalamnya terdapat unsur perzinahan. Jadi pelacuran itu ada karena manusia sudah mengenal ikatan dalam pernikahan. Pada umumnya pentas pelacuran dilakukan oleh kaum hawa padahal saat ini masyarakat sudah mengenal yang namanya gigolo. Apakah berbeda? sebenarnya sama, hanya gigolo adalah sebutan pelacur bagi kaum pria. Ditinjau dari segi norma, pelacur dan gigolo sama, hanya permasalahan gender yang membuatnya berbeda. Fenomena pelacuran tentunya juga melanggar norma hukum, adat, dan budaya. Secara sederhanana pelacuran adalah bentuk nyata dari hubungan kelamin di luar pernikahan.
Pada dasarnya pelacuran adalah sebuah sarana penjualan jasa seksual. Penjualan jasa seksual, misalnya hubungan intim, oral seks, yang dilakukan untuk memperoleh uang. Pekerjaan para pelacur pada umumnya adalah menyewakan tubuhnya kepada pelanggan. Para pelacur memberikan ‘service’ supaya para pelanggan/konsumen dapat terpuaskan. Di Indonesia para pelacur disebut juga PSK, yaitu singkatan dari Pekerja Seks Komersial. Demi mendapatkan uang, para pelacur harus berusaha menyingkirkan segala norma yang ada dalam masyarakat. Mereka harus bisa menerima resiko dari pekerjaan mereka, entah itu dikucilkan, maupun didigusur dari pergaulan. Selain itu mereka juga harus siap untuk menghadapi konsekuensi hukum, karena pekerjaan mereka melanggar norma hukum dan agama yang berlaku.
Jika berpikir tentang pekerja seks komersial, maka beberapa pertanyaan akan muncul. Pertanyaan yang paling mendasar adalah ‘siapa yang salah?’. Ketika kita melihat dari segi norma dan hukum maka kita tahu bahwa para PSK lah yang salah. Dengan mudah kita menemukan kesalahan mereka karena mereka melakukan tindakan menyimpang. Di sisi lain kita tidak mengetahui latar belakang mereka sebagai pelacur. pertanyaannya, ‘apakah mereka menginginkan itu?’. Secara logis, wanita tidak akan melakukan hal tersebut jika ada pekerjaan yang lebih baik dan layak. Menjadi PSK membuat mereka merendahkan harga diri mereka demi mendapatkan uang.
Seorang wanita tidak akan menjadi pelacur jika kebutuhan materi sudah dapat dipenuhi. Inilah sebab utama yang membuat para wanita rela mengorbankan harga dirinya. Tekanan ekonomi membuat seseorang untuk melakukan segara cara, apalagi kebutuhannya mendesak. Saat mereka menemukan jalan buntu, jalan yang terbuka lebar dan mudah dilakukan adalah menjadi seorang pekerja seks komersial. Dengan menjadi PSK, mereka mampu mendapatkan uang dalam waktu yang singkat, apalagi mereka bekerja individu, tidak melibatkan mucikari. Berawal dari sana mereka akan menganggap bahwa pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang paling baik. Mereka bisa membiayai diri mereka sendiri, mungkin bisa membiayai keluarga mereka.
Menjadi seorang PSK tidak melulu akibat tekanan ekonomi. Banyak hal lain yang menjadi alasan para wanita menjajakan dirinya. Alasan lain yang paling masuk akal adalah tingkat pendidikan. Hal utama yang mendasar adalah kebodohan, kurangnya pendidikan atau intelegensi. Sebenarnya banyak para pekerja seks yang mempunyai pendidikan, contohnya : mahasiswa atau pelajar SMA. Mereka menjadi PSK karena dorongan kehidupan hedonis, karena mereka menginginkan lebih dari sekedar uang jajan/uang bulanan.Dalam hal ini mereka menjadi pelacur karena mereka ingin memenuhi kebutuhan psikologi mereka, mereka menghendaki kemewahan tidak sekedar cukup. Pada kenyataannya, para PSK yang bekerja di tempat pelacuran besar (yang dipekerjakan oleh mucikari) tidak mempunyai pendidikan seperti halnya mahasiswa. Mereka berasal dari keluarga miskin di desa. Mereka bekerja hanya untuk mendapatkan kebutuhan materi, tidak peduli dampak atau akibat yang akan terjadi setelahnya.
Banyak sekali tempat pelacuran yang ada di Indonesia. Saya akan mengambil satu contoh tempat lokalisasi besar di Indonesia. Sebagian besar orang Yogyakarta pastinya tahu yang namanya “Sarkem”. Sarkem merupakan salah satu lokalisasi terbesar yang ada di Indonesia. Letaknya di sebelah selatan stasiun Tugu, berdekatan dengan kawasan Malioboro. Sarkem adalah nama lain suatu kampong bernama Sosrowijayan yang terletak di Pusat Kota Yogyakarta. Menurut warga setempat, pelacuran di Sarkem sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, lebih dari 100 tahun yang lalu. Kegiatan ekonomi warga dan Sarkem seakan sudah menjadi simbiosis mutualisme, saling menguntungkan satu sama lain. Warga kampung Sosrowijayan juga berbisnis dari adanya fasilitas sarana wisata, seperti tempat untuk menginap, warung, dan rumah makan. Warga di sini menyediakan kamar dan menyediakan rumah bagi pekerja seks.
Undang-undang mengenai pelarangan pelacuran sudah ada sejak lama. Seperti pada tanggal 2 November 1954 dikeluarkan peraturan daerah No. 15/1954 tentang penutupan tempat-tempat pelacuran. Undang-undang ini membuktikan bahwa kegiatan pelacuran di Indonesia sudah ada sejak dulu. Setelah itu banyak diberlakukan banyak undang-undang yang mengatur kegiatan pelacuran, tetapi kenyataannya sampai saat ini tempat pelacuran masih ada. Tempat pelacuran, khususnya di Sarkem seakan sudah dilegalkan oleh pemerintah setempat.
Setelah melihat kenyataan yang ada, pekerjaan sebagai pelacur bisa dianggap sebagai pekerjaan berat yang tentunya tidak mudah. Banyak sekali kesengsaraan di sana. Mungkin kita masih bisa melihat kehidupan yang lebih baik di Sarkem, tetapi di tempat lain kehidupan para pelacur jauh lebih memprihatinkan. Mereka terkekang tetapi harus melakukan sesuatu untuk makan, untuk hidup. Saya akan memberikan contoh ekstrim penderitaan pelacur pada umumnya:
Melihat kenyataan di atas, kasus perdagangan perempuan dan pelacuran juga merupakan cerminan pelanggaran hak asasi manusia. Hak asasi manusia perempuan seakan terinjak-injak. Apakah adil jika menyalahkan pihak wanita pada kasus pelacuran? sepertinya tidak. Ia bekerja karena latar belakang ekonomi. Tidak ada yang memaksa seorang wanita bekerja sebagai pelacur, hanya keadaan yang menuntunnya sampai di sana.
Seiring munculnya individu-individu yang refleksif, maka adanya globalisasi juga semakin melibatkan setiap orang ke suatu jaringan resiko, dalam konteks ini : seks. Pelacuran sudah ada dari dulu bahkan sebelum Indonesia merdeka. Seiring berjalannya waktu kegiatan pelacuran di Indonesia tidak berkurang, bahkan semakin merajalela. Banyak pihak yang terlibat dalam bisnis pelacuran, seperti pekerja, mucikari, maupun pelanggan. Menurut saya saya sungguh tidak adil ketika seseorang berpendapat bahwa pekerja yang paling disalahkan. Mereka hanya terjerumus ke dalam keadaan, yang tidak mereka inginkan. Yang perlu dilakukan bukan menyudutkan dan mengucilkan para PSK, tetapi bagaimana kita bisa menyingkirkan persepsi buruk yang berlebihan karena kita belum melihat kenyataan yang sesungguhnya.
Minggu, 20 Januari 2013
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Migrasi
Migrasi atau mobilitas penduduk dari satu daerah ke daerah lainnya dapat dikelompokkan menjadi dua:
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar.
(1) Faktor–faktor yang mendorong terjadinya urbanisasi, sebagai berikut.
(2) Faktor penarik di kota, sebagai berikut.
(a) Lapangan pekerjaan lebih banyak.
Migrasi, baik migrasi internasional maupun nasional tentu ada pengaruhnya. Sebagai contoh untuk transmigrasi, urbanisasi, atau emigrasi sebagai TKI, dampak negatifnya adalah:
a. Migrasi internasional, yaitu perpindahan penduduk yang dilakukan antarnegara. Migrasi internasional dibedakan menjadi imigrasi dan emigrasi.
1) Imigrasi, yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara lain ke dalam suatu negara. Contoh orang India masuk ke Indonesia.
2) Emigrasi, yaitu perpindahan penduduk dari suatu negara menuju ke negara lain. Contoh orang Indonesia pergi bekerja ke luar negeri, misalnya para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia.
b. Migrasi nasional, yaitu proses perpindahan penduduk di dalam satu negara. Migrasi nasional ini terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1) Migrasi penduduk sementara atau migrasi sirkuler, terdiri dari:
a) penglaju, yaitu perpindahan penduduk dari tempat tinggal asal menuju ke tempat tujuan yang dilakukan setiap hari pulang pergi untuk melakukan suatu pekerjaan.
b) perpindahan penduduk musiman, maksudnya perpindahan yang dilakukan hanya bersifat sementara pada musim-musim tertentu.
2) Migrasi penduduk menetap meliputi transmigrasi dan urbanisasi. Transmigrasi, yaitu perpindahan dari salah satu wilayah untuk menetap di wilayah lain dalam wilayah negara.
Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota atau dari kota kecil ke kota besar.
(1) Faktor–faktor yang mendorong terjadinya urbanisasi, sebagai berikut.
(a) Lahan pertanian semakin sempit.
(b) Sulitnya pekerjaan di luar sektor pertanian.
(c) Banyaknya pengangguran di pedesaan.
(d) Fasilitas kehidupan sulit didapat. (e) Kurangnya fasilitas hiburan.
(2) Faktor penarik di kota, sebagai berikut.
(a) Lapangan pekerjaan lebih banyak.
(b) Banyak menyerap tenaga kerja.
(c) Banyak hiburan.
(d) Banyak fasilitas kehidupan.
Migrasi, baik migrasi internasional maupun nasional tentu ada pengaruhnya. Sebagai contoh untuk transmigrasi, urbanisasi, atau emigrasi sebagai TKI, dampak negatifnya adalah:
• di perdesaan tenaga di sektor pertanian berkurang,
• banyak lahan tidak tergarap,
• produktivitas pertanian dapat menurun, dan
• Tenaga terdidik sebagai tenaga penggerak pembangunan berkurang.
Namun migrasi juga ada akibat positifnya, yaitu:
• meningkatkan pendapatan penduduk desa,
• mengurangi kepadatan penduduk,
• menularkan pengalaman kota, dan
• Masyarakat desa ingin maju.
Dalam hal urbanisasi, dampak negatif bagi wilayah perkotaan, antara lain:
• pertambahan penduduk,
• kepadatan penduduk,
• peningkatan tenaga kasar,
• timbul daerah kumuh,
• tuna wisma,
• meningkatnya kejahatan,
• pengangguran,
• kemacetan lalu-lintas, dan
• semakin menciptakan rasa individual yang tinggi.
Dampak positif migrasi di perkotaan, antara lain:
• Murah tenaga kerja
• Banyak tersedia tenaga kerja kasar
Hubungan Migrasi Dengan Kejahatan
Perdagangan manusia (trafficking) melalui jalur migrasi telah menjadi salah satu bentuk kejahatan transnasional yang marak dalam dekade ini. Dari segi kuantitas, jumlah korban trafficking menunjukkan angka yang mengerikan.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban perdagangan perempuan berkisar antara 700,000 hingga dua juta orang setiap tahunnya. Bureau of Public Affairs US Department of State dalam laporannya tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap tahunnya sebanyak 800.000 – 900.000 manusia telah diperdagangkan dengan tujuan memasok pasar industi seks dan pasar tenaga kerja murah. Tidak hanya marak dari segi kuantitas, nilai transaksi kejahatan trafficking juga menggiurkan. PBB memperkirakan pemasukan setiap tahun dari industri ini mencapai US$7 milyar. Bahkan trafficking diyakini sebagai sumber pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional, setelah narkotika dan penjualan senjata api.
Sementara itu kawasan Asia Tenggara merupakan sumber dari sepertiga kasus trafficking global. Angka di atas menunjukkan bahwa meskipun perdagangan manusia bukan merupakan fenomena baru, trend global menunjukkan peningkatan kasus trafficking setiap tahunnya dan perempuan merupakan korban terbanyak perdagangan manusia. Lalu bagaimana memotret kerentanan perempuan dalam persoalan perdagangan manusia?.
Secara global, korban perdagangan manusia beragam mulai dari perempuan, laki-laki, remaja, anak perempuan hingga bayi. Namun perempuan masih menempati jumlah dengan porsi terbesar sebagai korban trafficking. Hal ini menujukkan adanya viktimisasi (victimization) perempuan sebagai korban dalam persoalan perdagangan perempuan. Namun perlu dipahami bahwa persoalan perdagangan perempuan termasuk dalam fenomena gunung es, dimana angka yang tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan. Maksudnya adalah pendataan terhadap korban trafficking hanya dapat dilakukan jika ada tindakan pelaporan dari korban maupun keluarga korban. Sementara dalam realitanya persoalan trafficking yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Selain itu perbedaan persepsi antara para pemangku kepentingan di pemerintahan dalam memaknai trafficking, misalnya antara kepolisian, disnaker, keimigrasian, menjadi persoalan dalam pendefinisian korban trafficking. Seringkali delik hukum yang dikenakan untuk kasus trafficking berhimpitan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Akibat dari berbagai persoalan tersebut. pendataan tentang korban trafficking mengalami kendala akurasi dan validitas. Data korban trafficking yang dihimpun oleh berbagai pemangku kepentingan tersebut pada akhirnya mengalami perbedaan.
Isu viktimasi terhadap perempuan sebagai korban trafficking juga terjadi ketika viktimisasi dilakukan melalui tindakan mengkriminalkan aktivitas migrasi perempuan yang sejatinya dilakukan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Perempuan migran dianggap sebagai pelaku kriminal karena bermigrasi dengan cara dan prosedur yang illegal. Terkait dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus perempuan calon migran mengetahui atau menyetujui proses migrasi illegal yang terjadi, misalnya pemalsuan usia dan status untuk dokumen keberangkatan. Namun di sisi lain, tidak sedikit juga migran perempuan yang berangkat secara legal namun dalam perjalanan mereka diselundupkan dan diperdagangkan. Perempuan migran dengan karakteristik inilah yang lebih tepat disebut sebagai korban trafficking.
Persoalan kerentanan perempuan inilah yang kemudian menjadi hal penting lainnya dalam melihat persoalan perdagangan perempuan sebagai bagian dari fenomena globalisasi. Perempuan dan laki-laki, khususnya migran mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi dan merespons persoalan perdagangan perempuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerentanan (vulnerability) yang mereka miliki, yang diantaranya dikarenakan konsekuensi dari kebijakan yang diskriminatif. Kerentanan perempuan sebagai korban trafficking disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya terkait dengan adanya praktek-praktek sosial budaya di masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga menjadikan mereka termarginalisasi dalam berbagai sektor, baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Mitos kawin muda atau kawin paksa, yang terjadi di berbagai negara menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan. Dalam usia yang relatif muda, para perempuan sudah harus berkutat dengan pekerjaan domestik yang membatasi mobilitasnya. Akibatnya, perempuan cenderung miskin dan tidak berpendidikan.
Faktor lain yang meningkatkan kerentanan perempuan sebagai korban trafficking dalam konteks globalisasi adalah adanya persepsi di daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan. Isu komodifikasi perempuan sebenarnya bukanlah isu baru. Isu ini telah berkembang paada awal era class-divided society. Pada era yang ditandai dengan perkembangan kapitalisme global, suatu sistem yang mendasarkan pada produksi komoditas, menjadikan persoalan perdagangan perempuan semakin marak. Persepsi bahwa perempuan sebagai komoditi semakin menguat seiring dengan maraknya industri hiburan dan seks. Perempuan dan anak-anak dijadikan komoditas seksual yang dapat diperjualbelikan dengan dipekerjakan sebagai model, bintang film dan wanita penghibur di bar atau restoran. Akibatnya industri seks, prostitusi dan pornografi berkembang pesat dan meraup untung milyaran dolar.
Komodifikasi perempuan terutama sebagai objek seks muncul seiring dengan filosofi laissez-fair dan neoliberalisasi yang dikandung oleh globalisasi. Filosofi tersebut menekankan pada konsep marketisasi, konsumerisme dan individualisme sebagai cirinya. Ketiga konsep tersebut menghasilkan logika bahwa segala hal dapat dikomersilkan dan dikomoditikan, termasuk perempuan. Ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tersebut menekankan penggunaan femininitas dan seksualitas untuk meraup keuntungan. Dengan tujuan membayar hutang, beberapa negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika didorong oleh organisasi internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengembangkan berbagai industri yang menstimulasi perkembangan industri seks tersebut. Hal tersebut menunjukkan komodifikasi perempuan melalui prostitusi telah menjadi strategi pembangunan industri turisme dan hiburan di beberapa negara.
Potret kerentanan perempuan dalam isu perdagangan manusia sebagai konsekuensi globalisasi di atas menunjukkan bahwa aktivitas migrasi internasional saat ini lebih kompleks sehingga rentan terhadap peluang terjadinya perdagangan manusia, khususnya perempuan. Sebagai pihak yang rentan terhadap pengaruh globalisasi, perempuan telah menjadikan migrasi sebagai pilihan untuk bertahan hidup. Persoalannya, aktivitas migrasi perempuan yang mendorong terjadinya feminisasi migrasi seringkali tidak berjalan sesuai prosedur sehingga dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan transnasional. Kondisi ini semakin kompleks ketika perempuan sendiri telah menjadi pihak yang rentan sebagai korban kejahatan (viktimisasi), akibat perlakuan marginalisasi di keluarga dan masyarakat serta persepsi yang berbeda di daerah tujuan migrasi akan komodifikasi perempuan. Akibat berbagai hal tersebut, perempuan telah menjadi korban kejahatan perdagangan manusia yang sebenarnya melanggar hak asasi manusia. Kejahatan tersebut telah merenggut hak untuk merdeka dan mencari penghidupan yang layak sekaligus berpotensi mendorong terjadinya kekerasan berbasis gender dalam keluarga. Berbagai hal di atas menunjukkan bahwa globalisasi, migrasi dan perdagangan perempuan bukanlah fenomena yang netral gender, melainkan fenomena yang mempengaruhi diskursus ideologi gender, relasi gender dan posisi perempuan di tengah sistem ekonomi politik dunia yang hegemon dan maskulin.
Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan korban perdagangan perempuan berkisar antara 700,000 hingga dua juta orang setiap tahunnya. Bureau of Public Affairs US Department of State dalam laporannya tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap tahunnya sebanyak 800.000 – 900.000 manusia telah diperdagangkan dengan tujuan memasok pasar industi seks dan pasar tenaga kerja murah. Tidak hanya marak dari segi kuantitas, nilai transaksi kejahatan trafficking juga menggiurkan. PBB memperkirakan pemasukan setiap tahun dari industri ini mencapai US$7 milyar. Bahkan trafficking diyakini sebagai sumber pemasukan ketiga terbesar dari aktivitas kejahatan transnasional, setelah narkotika dan penjualan senjata api.
Sementara itu kawasan Asia Tenggara merupakan sumber dari sepertiga kasus trafficking global. Angka di atas menunjukkan bahwa meskipun perdagangan manusia bukan merupakan fenomena baru, trend global menunjukkan peningkatan kasus trafficking setiap tahunnya dan perempuan merupakan korban terbanyak perdagangan manusia. Lalu bagaimana memotret kerentanan perempuan dalam persoalan perdagangan manusia?.
Secara global, korban perdagangan manusia beragam mulai dari perempuan, laki-laki, remaja, anak perempuan hingga bayi. Namun perempuan masih menempati jumlah dengan porsi terbesar sebagai korban trafficking. Hal ini menujukkan adanya viktimisasi (victimization) perempuan sebagai korban dalam persoalan perdagangan perempuan. Namun perlu dipahami bahwa persoalan perdagangan perempuan termasuk dalam fenomena gunung es, dimana angka yang tidak terlihat jauh lebih banyak daripada yang terlihat di permukaan. Maksudnya adalah pendataan terhadap korban trafficking hanya dapat dilakukan jika ada tindakan pelaporan dari korban maupun keluarga korban. Sementara dalam realitanya persoalan trafficking yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Selain itu perbedaan persepsi antara para pemangku kepentingan di pemerintahan dalam memaknai trafficking, misalnya antara kepolisian, disnaker, keimigrasian, menjadi persoalan dalam pendefinisian korban trafficking. Seringkali delik hukum yang dikenakan untuk kasus trafficking berhimpitan dengan persoalan penempatan tenaga kerja. Akibat dari berbagai persoalan tersebut. pendataan tentang korban trafficking mengalami kendala akurasi dan validitas. Data korban trafficking yang dihimpun oleh berbagai pemangku kepentingan tersebut pada akhirnya mengalami perbedaan.
Isu viktimasi terhadap perempuan sebagai korban trafficking juga terjadi ketika viktimisasi dilakukan melalui tindakan mengkriminalkan aktivitas migrasi perempuan yang sejatinya dilakukan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Perempuan migran dianggap sebagai pelaku kriminal karena bermigrasi dengan cara dan prosedur yang illegal. Terkait dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus perempuan calon migran mengetahui atau menyetujui proses migrasi illegal yang terjadi, misalnya pemalsuan usia dan status untuk dokumen keberangkatan. Namun di sisi lain, tidak sedikit juga migran perempuan yang berangkat secara legal namun dalam perjalanan mereka diselundupkan dan diperdagangkan. Perempuan migran dengan karakteristik inilah yang lebih tepat disebut sebagai korban trafficking.
Persoalan kerentanan perempuan inilah yang kemudian menjadi hal penting lainnya dalam melihat persoalan perdagangan perempuan sebagai bagian dari fenomena globalisasi. Perempuan dan laki-laki, khususnya migran mempunyai pengalaman berbeda dalam menghadapi dan merespons persoalan perdagangan perempuan. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kerentanan (vulnerability) yang mereka miliki, yang diantaranya dikarenakan konsekuensi dari kebijakan yang diskriminatif. Kerentanan perempuan sebagai korban trafficking disebabkan oleh sejumlah faktor. Salah satunya terkait dengan adanya praktek-praktek sosial budaya di masyarakat yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga menjadikan mereka termarginalisasi dalam berbagai sektor, baik ekonomi, sosial dan pendidikan. Mitos kawin muda atau kawin paksa, yang terjadi di berbagai negara menjadikan perempuan terbatas dalam memanfaatkan kesempatan ekonomi dan pendidikan. Dalam usia yang relatif muda, para perempuan sudah harus berkutat dengan pekerjaan domestik yang membatasi mobilitasnya. Akibatnya, perempuan cenderung miskin dan tidak berpendidikan.
Faktor lain yang meningkatkan kerentanan perempuan sebagai korban trafficking dalam konteks globalisasi adalah adanya persepsi di daerah/negara tujuan bahwa perempuan adalah komoditi yang dapat dipertukarkan dan diperjualbelikan. Isu komodifikasi perempuan sebenarnya bukanlah isu baru. Isu ini telah berkembang paada awal era class-divided society. Pada era yang ditandai dengan perkembangan kapitalisme global, suatu sistem yang mendasarkan pada produksi komoditas, menjadikan persoalan perdagangan perempuan semakin marak. Persepsi bahwa perempuan sebagai komoditi semakin menguat seiring dengan maraknya industri hiburan dan seks. Perempuan dan anak-anak dijadikan komoditas seksual yang dapat diperjualbelikan dengan dipekerjakan sebagai model, bintang film dan wanita penghibur di bar atau restoran. Akibatnya industri seks, prostitusi dan pornografi berkembang pesat dan meraup untung milyaran dolar.
Komodifikasi perempuan terutama sebagai objek seks muncul seiring dengan filosofi laissez-fair dan neoliberalisasi yang dikandung oleh globalisasi. Filosofi tersebut menekankan pada konsep marketisasi, konsumerisme dan individualisme sebagai cirinya. Ketiga konsep tersebut menghasilkan logika bahwa segala hal dapat dikomersilkan dan dikomoditikan, termasuk perempuan. Ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan tersebut menekankan penggunaan femininitas dan seksualitas untuk meraup keuntungan. Dengan tujuan membayar hutang, beberapa negara di Asia, Amerika Latin dan Afrika didorong oleh organisasi internasional seperti IMF dan Bank Dunia untuk mengembangkan berbagai industri yang menstimulasi perkembangan industri seks tersebut. Hal tersebut menunjukkan komodifikasi perempuan melalui prostitusi telah menjadi strategi pembangunan industri turisme dan hiburan di beberapa negara.
Potret kerentanan perempuan dalam isu perdagangan manusia sebagai konsekuensi globalisasi di atas menunjukkan bahwa aktivitas migrasi internasional saat ini lebih kompleks sehingga rentan terhadap peluang terjadinya perdagangan manusia, khususnya perempuan. Sebagai pihak yang rentan terhadap pengaruh globalisasi, perempuan telah menjadikan migrasi sebagai pilihan untuk bertahan hidup. Persoalannya, aktivitas migrasi perempuan yang mendorong terjadinya feminisasi migrasi seringkali tidak berjalan sesuai prosedur sehingga dimanfaatkan oleh sindikat kejahatan transnasional. Kondisi ini semakin kompleks ketika perempuan sendiri telah menjadi pihak yang rentan sebagai korban kejahatan (viktimisasi), akibat perlakuan marginalisasi di keluarga dan masyarakat serta persepsi yang berbeda di daerah tujuan migrasi akan komodifikasi perempuan. Akibat berbagai hal tersebut, perempuan telah menjadi korban kejahatan perdagangan manusia yang sebenarnya melanggar hak asasi manusia. Kejahatan tersebut telah merenggut hak untuk merdeka dan mencari penghidupan yang layak sekaligus berpotensi mendorong terjadinya kekerasan berbasis gender dalam keluarga. Berbagai hal di atas menunjukkan bahwa globalisasi, migrasi dan perdagangan perempuan bukanlah fenomena yang netral gender, melainkan fenomena yang mempengaruhi diskursus ideologi gender, relasi gender dan posisi perempuan di tengah sistem ekonomi politik dunia yang hegemon dan maskulin.
Hubungan Migrasi Dengan Kesejahteraan
Pola mobilitas penduduk atau yang lebih sering disebut dengan migrasi antar kota ataupun antar pulau dalam satu negara, sangat menarik untuk didiskusikan karena berkaitan dengan penyusunan kebijakan pemerintah dalam pembangunan di daerah asal maupun daerah tujuan migrasi tersebut terjadi. Penduduk sebagai subyek pembangunan, mempunyai peranan dan pengaruh yang tinggi terhadap setiap kebijakan negara dalam aspek kependudukan. Ada alasan dan faktor yang mencetuskan terjadinya migrasi tersebut.
Di sisi lain, otonomi daerah menjadikan kabupaten maupun propinsi dalam menata rumah tangganya semakin leluasa. Akselerasi pembangunan diharapkan terjadi di semua pemerintah daerah sehingga memperkecil jurang ketimpangan antar kabupaten. Jawa, dengan jumlah penduduk yang lebih padat dibandingkan pulau lain di nusantara, sekaligus sebagai pusat perekonomian memiliki masalah dengan daya dukung lingkungan yang sudah tidak mampu lagi mengiringi semua aktifitas yang dilakukan manusia lagi. Darwin (2008) menyatakan Strategi pemekaran kota secara horisontal yang terjadi di Jawa, akan memberikan label jawa sebagai Pulau Kota. Hal ini berdampak pada semakin kuatnya magnet bagi para migran dari luar Jawa, disamping juga menimbulkan krisis baru dibidang lingkungan. Pemekaran wilayah, tentu berdampak pula pada lahan yang semakin berkurang dengan kalimat lain “boros lahan”. Daya dukung lingkungan berkurang, dalam jangka panjang akan mempengaruhi kualitas hidup manusia yang berada di dalamnya.
Menurut buku “asal usul dan persebaran manusia di kepulaan Indonesia”, para ahli geologi memperkirakan bahwa pada kala pleistosen khususnya ketika terjadinya glasiasi, Kepulauan Nusantara ini bersatu dengan daratan Asia, memungkinkan terjadinya perpindahan manusia dan hewan dari daratan Asia ke Indonesia bagian barat, atau sebaliknya. Adapun Paparan Sahul memungkinkan terjadinya perpindahan manusia dan hewan dari daratan Australia ke Indonesia bagian timur, atau sebaliknya. Proses migrasi yang terjadi pada masa pleistosen ini menyebabkan wilayah Nusantara mulai dihuni oleh manusia. Migrasi di atas dilihat dari aspek historis dan faktor yang memicu adalah adanya perubahan alam.
Migrasi penduduk antar propinsi dan migrasi desa-kota selalu tertuju ke Jawa. Faktor tersebut dipicu adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa. Industri dan Jasa selama ini selalu berpusat di kota kota besar, dengan pertimbangan mudahnya akses tenaga kerja atau buruh, akses sarana produksi serta kemudahan infrastruktur yang sudah tersedia, menjadi pertimbangan investor menempatkan lokasi usaha mereka.
Mobilitas penduduk hanyalah satu dari sekian banyak masalah di sektor kependudukan seperti mortalitas, morbidita dan fertilitas. Upaya mengelola sektor kependudukan dengan adanya fenomena migrasi menuntut kebijakan yang menyeluruh, tidak sekedar menggantungkan pada proses otonomi daerah. Dalam perjalanannya, sudah lebih dari sepuluh tahun otonomi berjalan dan dilaksanakan oleh negara kita tercinta yang sedang belajar berdemokrasi. Menurut Dwiyanto (2010;253), dalam mengembalikan kepercayaan publik melalui reformasi birokrasi mengemukakan bahwa karena desentralisasi dilakukan di bawah tekanan, pemerintah dan DPR gagal membuat kerangka kebijakan yang menyeluruh, koheren dan mampu mengintegrasikan desentralisasi dengan kebijakan reformasi lainnya. Masih menurut Dwiyanto, tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kemakmuran rakyat sering terkendala oleh kecenderungan DPRD dan birokrat menghabiskan sebagian besar anggaran untuk belanja pegawai, dan sebagian kecil untuk sektor pelayanan publik.
Darwin (2008) mengajukan ide yaitu distribusi aktivitas ekonomi. Harus diciptakan pusat-pusat pertumbuhan di luar Jawa. Sehingga gulanya menyebar tidak hanya di Jawa saja tapi juga di luar Jawa. Kalau gulanya menyebar, semuanya juga akan menyebar. Prinsip demografi kuno itu harus menjadi sandaran pengembangan kebijakan ke depan. Supaya tekanan kependudukan di Jawa itu bisa diatasi. Hal lain yang tak kalah penting juga adalah bagaimana mensiasati Jawa yang padat ini sehingga tidak menciptakan kemiskinan. Karena angka kemiskinan di Jawa juga tinggi terutama di pedesaan.Ini menyangkut strategi pembangunan di Jawa.
Sementara itu pembangunan suatu negara tidak bisa dihindarkan dengan faktor kebijaksanaan dibidang ketenagakerjaan, termasuk pengendalian mobilitas tenaga kerja. Adanya rekayasa mobilisasi tenaga kerja seperti yang pernah dilakukan dahulu (program transmigrasi) menjadi sesuatu hal yang tidak relevan lagi dalam menghadapi tantangan ke depan. Pendekatan yang tampaknya paling relevan saat ini adalah pendekatan akomodatif – manipulatif yang mana tidak ditujukan untuk ‘melawan’ pasar, tetapi justru untuk ‘mempengaruhi’ atau bahkan ‘menciptakan’ pasar. Penerapan pendekatan ini diharapkan tidak memberikan efek negatif baik pada wilayah asal maupun wilayah tujuan.
Sehingga pada akhirnya, kedewasaan birokrat dalam mengemban amanah rakyat menjalankan otonomi harus seiring dengan kebijakan negara dibidang kependudukan yang komprehensif. Faturochman dan Dwiyanto (2000) mendiskripsikan isu isu pokok yang menjadi pekerjaan rumah bagi negara pertama, visi dan arah pembangunan kependudukan perlu diperjelas. Selama ini hanya menekankan aspek kuantitatif seperti penurunan angka fertiltas,angka mortalitas dan program transmigrasi. Reorientasi pada implementasi program serta hasil yang menekankan pada kualitas penduduk sudah saatnya menjadi arah kebijakan baru. Pengedalian kependudukan tidak sekedar menekan laju pertumbuhan namun juga harus memperhatikan hak hak reproduksi (lihat tulisan Muhadjir Darwin). Kedua, keserasian kebijakan dan program tidak hanya dituntut pada tingkat pusat. Keserasian antara pusat dan daerah seharusnya menjadi sasaran kinerja program. Isu ketidakserasian program antara pusat dan daerah sudah lama terjadi, namun tidak ada upaya yang serius untuk memecahkannya.
Peran kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan, akan mendorong terciptanya pemerintahan yang “baik”. Dengan terciptanya tata pemerintahan yang baik, maka tujuan negara dalam peningkatan taraf hidup masyarakat akan tercipta. Masalah kependudukan akan berkurang dengan sendirinya.
Hubungan Pertumbuhan Penduduk Dengan Kesejahteraan
Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasidapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individ sewaktu-waktu, dan u dalam sebuah populasi menggunakan “per waktu unit” untuk pengukuran. Sebutan pertumbuhan penduduk merujuk pada semua spesies, tapi selalu mengarah pada manusia, dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai pertumbuhan penduduk, dan digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk dunia.
Dalam demografi dan ekologi, nilai pertumbuhan penduduk (NPP) adalah nilai kecil dimana jumlah individu dalam sebuah populasi meningkat. NPP hanya merujuk pada perubahan populasi pada periode waktu unit, sering diartikan sebagai persentase jumlah individu dalam populasi ketika dimulainya periode. Ini dapat dituliskan dalam rumus: P = Poekt
Cara yang paling umum untuk menghitung pertumbuhan penduduk adalah rasio, bukan nilai. Perubahan populasi pada periode waktu unit dihitung sebagai persentase populasi ketika dimulainya periode.
Ketika pertumbuhan penduduk dapat melewati
Kapasitas muat
suatu wilayah atau lingkungan hasilnya berakhir dengan kelebihan penduduk. Gangguan dalam populasi manusia dapat menyebabkan masalah seperti polusi dan kemacetan lalu lintas, meskipun dapat ditutupi perubahan teknologi dan ekonomi. Wilayah tersebut dapat dianggap “kurang penduduk” bila populasi tidak cukup besar untuk mengelola sebuah sistem ekonomi. Saat ini percepatan pertumbuhan penduduk mencapai 1,3 persen per tahun. Ini sudah mencapai titik yang membahayakan dan harus segera ditekan dengan penggalakan program Keluarga Berencana (KB). Jika upaya mengatasi laju pertumbuhan penduduk ini tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka mustahil sasaran perbaikan kesejahteraan rakyat dapat tercapai.oleh karena itu kita memerlukan terobosan-terobosan baru untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk me lalui program-program yang sudah dicanangkan oleh pemerintah,seperti Keluarga Berencana (KB). Bahkan Presiden pun ikut mengajak
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) dan Pemda serta LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) untuk meningkatkan sosialisasi penyuluhan KB.Sebab itu, Presiden SBY meminta agar seluruh pejabat melibatkan diri untuk mendukung program KB agar benar-benar berhasil, sehingga masa depan masyarakat Indonesia menjadi cerah, karena berapa pun pertumbuhan ekonomi yang dicapai jika pertumbuhan penduduk terus membengkak, maka kesejahteraan rakyat tidak akan pernah berhasil.Presiden juga mengatakan, pembangunan masyarakat Indonesia perlu memprioritaskan kelompok-kelompok masyarakat yang paling rentan, seperti anak-anak yatim piatu, anak-anak terlantar,dan masih banyak contoh lainnya.
Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Sjarief menyatakan, Indonesia harus segera mengerem laju pertumbuhan penduduk. Maklum, saat ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia memang cukup tinggi, yakni 2,6 juta jiwa per tahun. “Jika ini tidak diatasi, maka 10 tahun lagi Indonesia akan mengalami ledakan penduduk,” kata Sugiri, kemarin.
Tahun ini, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 230,6 juta jiwa. Tanpa KB, 11 tahun lagi atau pada 2020, penduduk Indonesia akan mencapai 261 juta manusia.
Tetapi jika KB berhasil menekan angka laju pertumbuhan 0,5% per tahun, maka jumlah penduduk 2020 hanya naik menjadi sekitar 246 juta jiwa. Ini berarti KB bisa menekan angka kelahiran sebanyak 15 juta jiwa dalam 11 tahun, atau 1,3 juta jiwa dalam setahun.
Jika penurunan laju pertumbuhan penduduk sebanyak itu bisa tercapai, berarti negara bisa menghemat triliunan rupiah untuk biaya pendidikan dan pelayanan kesehatan. Selain itu, dengan jumlah kelahiran yang terkendali, target untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan ibu dan anak, pengurangan angka kemiskinan, dan peningkatan pendapatan per kapitan dapat lebih mudah direalisasikan.
Sugiri memaparkan, pada 2006 rata-rata angka kelahiran mencapai 2,6 anak per wanita subur. Angka tersebut tidak berubah pada 2007, sedangkan laju pertumbuhan penduduk rata-rata masih 2,6 juta jiwa per tahun.
Untuk bisa menekan angka kelahiran sampai 1,3 juta jiwa setahun, BKKBN menargetkan tahun ini peserta KB baru dari keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera mencapai 12,9 juta keluarga.
Sugiri mengakui, pelaksanaan Progam KB kini kurang berdenyut seperti era Orde Baru. Pasalnya, di era otonomi saat ini, pemerintah daerah yang jadi ujung tombak pelaksanaan program justru loyo. Selain itu, BKKBN juga kekurangan petugas lapangan. Saat ini KB didukung oleh 22.000 petugas, “Kami butuh 13.000 penyuluh lagi.”
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk indonesia adalah sebagai berikut:
1.kelahiran
2.kematian
3.perpindahan penduduk(migrasi)
Migrasi ada dua,migrasi yang dapat menambah jumlah penduduk disebut migrasi masuk(imigrasi),dan yang dapat mengurangi jumlah penduduk disebut imigrasi keluar(emigrasi).
a. | Kelahiran (Natalitas) Kelahiran bersifat menambah jumlah penduduk. Ada beberapa faktor yang menghambat kelahiran (anti natalitas) dan yang mendukung kelahiran (pro natalitas) Faktor-faktor penunjang kelahiran (pro natalitas) antara lain:
Faktor pro natalitas mengakibatkan pertambahan jumlah penduduk menjadi besar. Faktor-faktor penghambat kelahiran (anti natalitas), antara lain:
|
Dampak Negatif Pertumbuhan Penduduk Lainnya:
- Lahan tempat tinggal dan bercocok tanam berkurang
- semakin banyaknya polusi dan limbah yang berasal dari rumah tangga, pabrik, perusahaan, industri, peternakan, dll
- Angka pengangguran meningkat
- Angka kesehatan masyarakat menurun
- Angka kemiskinan meningkat
- Pembangunan daerah semakin dituntut banyak
- Ketersediaan pangan sulit
- Pemerintah harus membuat kebijakan yang rumit
- Angka kecukupan gizi memburuk
- Muncul wanah penyakit baru
Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk :
- Penambahan dan penciptaan lapangan kerja dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat maka diharapkan hilangnya kepercayaan banyak anak banyak rejeki. Di samping itu pula diharapkan akan meningkatkan tingkat pendidikan yang akan merubah pola pikir dalam bidang kependudukan.
- Meningkatkan kesadaran dan pendidikan kependudukan. Dengan semakin sadar akan dampak dan efek dari laju pertumbuhan yang tidak terkontrol, maka diharapkan masyarakat umum secara sukarela turut mensukseskan gerakan keluarga berencana.
- Mengurangi kepadatan penduduk dengan program transmigrasi
Dengan menyebar penduduk pada daerah-daerah yang memiliki kepadatan penduduk rendah diharapkan mampu menekan laju pengangguran akibat tidak sepadan antara jumlah penduduk dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia.
- Meningkatkan produksi dan pencarian sumber makanan
Hal ini untuk mengimbangi jangan sampai persediaan bahan pangan tidak diikuti dengan laju pertumbuhan. Setiap daerah diharapkan mengusahakan swasembada pangan agar tidak ketergantungan dengan daerah lainnya.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk menekan pesatnya pertumbuhan penduduk :
- Menggalakkan program KB atau Keluarga Berencana untuk membatasi jumlah anak dalam suatu keluarga secara umum dan masal, sehingga akan mengurangi jumlah angka kelahiran.
- Menunda masa perkawinan agar dapat mengurangi jumlah angka kelahiran yang tinggi.
Kesimpulannya adalah bahwa pertumbuhan penduduk berkaitan dengan kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat. Pengetahuan tentang aspek-aspek dan komponen demografi seperti fertilitas, mortalitas, morbiditas, migrasi, ketenagakerjaan, perkawinan, dan aspek keluarga dan rumah tangga akan membantu para penentu kebijakan dan perencana program untuk dapat mengembangkan program pembangunan kependudukan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tepat sasaran.
Mengatasi Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja di era modern ini sudah melebihi batas yang sewajarnya. Banyak anak di bawah umur yang sudah mengenal Rokok, Narkoba, Freesex, dan terlibat banyak tindakan kriminal lainnya. Fakta ini sudah tidak dapat dipungkuri lagi, anda dapat melihat brutalnya remaja jaman sekarang. Dan kami pun pernah menyaksikan dengan mata kepala kami sendiri ketika sebuah anak kelas satu SMA di kompleks ditangkap/ diciduk POLISI akibat menjadi seorang bandar gele, atau yang lebih kita kenal dengan ganja.
Hal ini semua bisa terjadi karena adanya faktor-faktor kenakalan remaja berikut:
- Perlunya kasih sayang dan perhatian dari orang tua dalam hal apapun.
- Adanya kemauan orang tua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
- Adanya pengawasan dari orang tua yang tidak mengekang. contohnya: kita boleh saja membiarkan dia melakukan apa saja yang masih dalam batas kewajaran, dan apabila menurut pengawasan dia telah melewati batas yang sewajarnya, maka orangtua perlu memberitahu dia dampak dan akibat yang harus ditanggungnya bila dia terus melakukan hal yang sudah melewati batas tersebut.
Hal ini semua bisa terjadi karena adanya faktor-faktor kenakalan remaja berikut:
- dasar-dasar agama yang kurang
- kurangnya kasih sayang orang tua.
- kurangnya pengawasan dari orang tua.
- pergaulan dengan teman yang tidak sebaya.
- peran dari perkembangan iptek yang berdampak negatif.
- kebebasan yang berlebihan
- Perlunya kasih sayang dan perhatian dari orang tua dalam hal apapun.
- Adanya kemauan orang tua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
- Adanya pengawasan dari orang tua yang tidak mengekang. contohnya: kita boleh saja membiarkan dia melakukan apa saja yang masih dalam batas kewajaran, dan apabila menurut pengawasan dia telah melewati batas yang sewajarnya, maka orangtua perlu memberitahu dia dampak dan akibat yang harus ditanggungnya bila dia terus melakukan hal yang sudah melewati batas tersebut.
- Biarkanlah dia bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda umur 2 atau 3 tahun baik lebih tua darinya. Karena apabila kita membiarkan dia bergaul dengan teman main yang sangat tidak sebaya dengannya, yang gaya hidupnya sudah pasti berbeda, maka dia pun bisa terbawa gaya hidup yang mungkin seharusnya belum perlu dia jalani.
- Remaja harus pandai dalam memilih teman dan lingkungan yang baik serta orang tua harus memberi arahan dengan siapa dan dikomunitas mana remaja harus bergaul.
- Pengawasan yang perlu dan intensif dari orang tua terhadap media komunikasi seperti tv, internet, radio, handphone, dll.
- Perlunya bimbingan kepribadian di sekolah, karena disanalah tempat anak lebih banyak menghabiskan waktunya selain di rumah.
- Perlunya pembelanjaran agama yang dilakukan sejak dini, seperti beribadah dan mengunjungi tempat ibadah sesuai dengan iman kepercayaannya. Hal ini juga betujuan untuk membentuk akhlak yang baik bagi sang anak yang sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama.
- Kita perlu mendukung hobi yang dia inginkan selama itu masih positif untuk dia. Jangan pernah kita mencegah hobinya maupun kesempatan dia mengembangkan bakat yang dia sukai selama bersifat Positif. Karena dengan melarangnya dapat menggangu kepribadian dan kepercayaan dirinya.
- Anda sebagai orang tua harus menjadi tempat CURHAT yang nyaman untuk anak anda, sehingga anda dapat membimbing dia ketika ia sedang menghadapi masalah.
- Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.
Langganan:
Postingan (Atom)