“Sahabat untuk selamanya
Atasi semua perbedaan
Kau dan aku sahabat
Untuk selamanya
Selamanya setia
Sahabat untuk selamanya
Berbagi dan saling menjaga
Kau dan aku sahabat
Untuk selamanya
Selama-lamanya setia…”.
By : Padi
Teens, sejak kecil sampai sekitar usia 15 tahun, saya adalah seorang pemabuk. Bukan karena suka minuman keras. Tapi karena suka muntah saat naik mobil. Memang agak memalukan kalau mengingat saat-saat itu. Hampir semua teman enggan duduk di dekat saya saat bepergian jauh. Menderita rasanya. Saat semua orang bersukacita menyambut karya wisata, biasanya saya justru gelisah ketika saat itu tiba. Memang bisa dimaklumi reaksi teman-teman terhadap kelemahan saya itu. Siapa sih yang mau kecipratan atau ketumpahan isi perut orang lain? Belum lagi baunya yang menjijikkan. Walau muntahnya sudah di tas plastik, toh itu tetap menjijikkan.
Teens, tidak ada orang yang mau kena muntah atau bahkan dimuntahi teman. Tapi uniknya banyak orang yang suka memuntahi temannya saat sedang bete, saat mengalami suasana hati yang sedang buruk. Sudah bukan rahasia lagi, dalam hidup ini ada banyak hal yang membuat suasana batin kita tiba-tiba memburuk. Bisa karena habis diomeli ortu, tugas sekolah menumpuk, bermasalah dengan teman, cinta ditolak, rasa tidak aman, sampai gara-gara jerawat atau sariawan bandel yang terus nempel kayak perangko. Itu semua bisa membuat kita merasa “mual” secara emosi. Celakanya, terkadang kita seenaknya menumpahkan perasaan galau bin kacau itu dan memuntahkannya kepada orang lain yang nggak tahu apa-apa. Kalau sudah begitu bisa gawat kan? Sebab akan ada banyak orang yang akan enggan mendekat, apalagi bersahabat dengan kita.
Biasanya orang yang suka memuntahkan hal buruk pada orang lain sering dihantui perasaan tidak aman. Mereka merasa bahwa orang lain tidak suka padanya, teman-temannya berkomplot menentangnya, orang tuanya tidak mencintainya, dan seterusnya. Oleh karena itulah ketika ia merasa sedang tidak mood, ia segera memuntahkan semua reaksi negatifnya pada orang-orang yang ia curigai itu. Kita juga. Sering kali kita lupa bahwa sahabat-sahabat kita punya persoalan sendiri yang berbeda dengan kita. Bisa saja mereka menghadapi sesuatu yang lebih berat daripada yang kamu hadapi. Bayangkan bagaimana perasaannya jika di saat ditindih masalah berat, dia malah kena semprot dari sahabatnya sendiri! Dia pasti akan merasa tidak nyaman, terluka dan akhirnya menjaga jarak dengan kita.
Lalu bagaimana? Ketika kamu sedang “mual” dan “pusing” karena hidupmu yang complicated, sebaiknya jaga jaraklah dengan teman-temanmu dan berdoalah, supaya kamu tidak melukai mereka dengan bahasa tubuh atau kata-katamu! Toh suasana hati yang buruk itu tidak akan bertahan lama. Tidak mungkin selama sebulan penuh suasana hati kita buruk melulu. Jika itu sampai terjadi, mungkin sudah waktunya bagimu untuk berkonsultasi ke Pendeta atau Psikolog. Saat menghadapi suasana hati yang buruk kita bisa saja berbagi dengan teman, namun tidak dengan melampiaskannya secara kasar kepada mereka.
SAHABAT YANG MEMAHAMI TEMANTeens, kita beruntung punya Tuhan Yesus sebagai sahabat sejati kita. Tentu baik bagi kita untuk mengingat kembali tentang bagaimana Tuhan Yesus memperlakukan kita sebagai sahabat. Dalam Yohanes 15:9-17 Tuhan mengajak kita untuk saling mengasihi. Ia menggambarkan hubungan kasih itu secara bertingkat. Seperti Bapa mengasihi Yesus, demikian juga Ia mengasihi kita, maka sebagaimana Bapa dan Yesus mengasihi, demikianlah kita harus mengasihi. Yesus mengasihi kita layaknya seorang sahabat. Ia tidak seperti seorang tuan yang seenaknya menumpahkan rasa mual di jiwanya kepada para bawahannya. Ia juga tidak memaksa orang lain mengerti dan memahami betapa berat pergumulan-Nya menuju salib. Sebab Ia memperlakukan kita sebagai sahabat, bukan sebagai hamba!
Nah.. dari situ kita bisa belajar bahwa saat kita mengalami guncangan, limbung, bete, marah, dsb., tetaplah berlaku sebagai seorang sahabat yang baik. Perlakukanlah orang lain seperti Tuhan Yesus memperlakukan kamu sebagai sahabat. Datanglah kepada sahabatmu, namun jangan merepotkan mereka. Menangislah di pundaknya, tetapi jangan membuat mereka menangisi dirinya. Ceritakanlah gejolak hatimu, tetapi jangan membuat mereka turut terbakar amarah. Mengapa kita perlu berlaku begitu? Sebab kita sadar bahwa mereka mungkin juga sudah punya beban yang harus dipikul. Sebab persahabatan itu adalah hal memahami, bukan memanfaatkan!
JIKA SAHABATKU “MUAL”Sebaliknya, bagaimana jika sahabat kita sedang jadi pesakitan yang “mual” dan ingin memuntahkan emosinya sembarangan? Yang perlu kita sadari, ketika seorang yang kamu sayang sedang bete, ia akan mengatakan hal-hal yang tak pernah terpikir olehnya ketika sedang dalam keadaan normal. Akal sehat mereka seperti tertutup awan gelap. Maka wajar jika mereka bereaksi secara berlebihan, mengucapkan hal yang menyakitkan, menyalahkan orang lain, kehilangan kendali, panik, bersikap main perintah, mengkritik secara menyakitkan, dsb. Uniknya mereka tidak sadar bahwa suasana hati merekalah yang mendikte perilaku negatif mereka. Anehnya beberapa saat kemudian -saat bete-nya reda- mereka bisa menjadi sangat lain.
Dalam keadaan demikian, sahabat kita sebenarnya sangat membutuhkan kita. Maka kita perlu tetap hadir di dekat mereka, namun jangan terlalu serius menanggapi reaksi-reaksinya yang menyebalkan. Terima saja kenyataan bahwa semua orang bisa jadi aneh ketika suasana hatinya sedang buruk.
Ingatkah kamu akan Firman Tuhan dalam Amsal 17:17 yang berbunyi, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran”? Kekuatan persahabatan tidak hanya ditentukan oleh seberapa banyak waktu yang kita habiskan bersama untuk menikmati keindahan hidup, namun ditentukan juga oleh seberapa banyak masalah yang bisa kita pecahkan bersama. Seorang sahabat digambarkan seperti seorang ‘saudara dalam kesukaran’. Seburuk apa pun relasi kita dengan saudara kita, toh status yang melekat sebagai kakak/ adik/ sepupu, dsb. tidak akan bisa lenyap. Ikatan persaudaraan lebih kuat dari persoalan yang muncul dalam hubungan itu. Seorang sahabat bisa menjadi lebih dekat dari saudara jika ia selalu ada ketika sahabatnya mengalami kesulitan dan butuh pertolongan.
Kalau sahabatmu sedang “mual” atau bahkan jadi gila, di situlah kesempatanmu untuk membuktikan diri bahwa kamu memang benar-benar seorang sahabat, bukan hanya sekadar teman. Dengan begitu kamu akan menjadi berkat baginya. Bahkan bisa dipakai Tuhan untuk menjadi duta besar-Nya dalam kehidupan sahabatmu.
Saya mengenal seorang remaja bernama Laras. Sahabatnya sedang bermasalah dengan orang tuanya. Suatu saat dengan tanpa sebab, sahabat Laras membentaknya di depan banyak orang dan mengatakan sesuatu yang sangat menyakitkan. Ia memuntahkan kemarahannya kepada Laras, dan sesumbar tak mau menjadi temannya lagi. Karena sadar temannya sedang bermasalah, Laras menahan diri sedemikian rupa hingga tak terseret kemarahan serupa. Ia hanya mendengar dengan wajah yang memerah dan mata yang berkaca-kaca, sambil meyakinkan dirinya bahwa temannya sedang out of control. Ia tidak membantah, membela diri di depan orang banyak. Laras sadar bahwa temannya tidak akan bisa menerima kata-kata atau reaksi apa pun. Dalam situasi yang tidak kondusif itu ia memilih untuk diam. Keesokan harinya Laras mampir di rumah sahabatnya untuk melihat apakah masih jadi pesakitan. Begitu membuka pintu, sahabatnya langsung memeluknya dengan erat, dan mengatakan bahwa ia sangat menyayangi Laras. Sambil menangis terisak-isak, sahabatnya itu meminta maaf dan kemudian mereka berbicara dari hati ke hati. Hasilnya? Masalah mereka terpecahkan dan masalah sabahat Laras dengan orang tuanya juga bisa terselesaikan. Itulah persahabatan.
Oh ya, ada yang terlupa dari pengalaman saya sebagai ‘pemabuk perjalanan’. Saat saya sedang mabuk berat dalam perjalanan wisata sekolah, ada seorang teman datang mendekat. Kemudian ia menyodorkan minyak angin di hidung saya. Memijit pundak dan leher saya. Dan meminta saya untuk rileks memandang ke depan-seperti seorang sopir melihat jalan yang berliku-liku di depan, bukan ke samping jendela- karena “melihat keluar jendela bikin pusing”, katanya. Tentu saja itu sungguh sangat mengejutkan, menghibur, menyenangkan, membesarkan hati, dan membuat saya mulai bisa menikmati perjalanan. Saya mulai bisa melihat di depan sana ada sungai deras yang airnya nan jernih. Tebing-tebing tinggi yang ditumbuhi pepohonan rimbun nan hijau. Kabut tebal yang menjanjikan kesejukan di tempat yang kami tuju. Dan entah kenapa, tiba-tiba perjalanan suram saya berangsur berubah jadi indah. Rasa pusing mereda, perut tak lagi mual. Dan ketika melihat saya tersenyum, semua teman dalam satu bus bersorak kegirangan, dan kami semua mengalunkan lagu sukacita dengan alat musik seadanya. Sejak saat itu hingga kini saya tak pernah lagi mabuk perjalanan. Terima kasih sahabatku, minyak angin, pijitan dan dorongan semangatmu membuat aku bisa menikmati kehidupan secara sempurna. Oh indahnya persahabatan.